"Ikutilah jalan-jalan kebenaran itu dan jangan hiraukan walaupun sedikit orang yang mengikutinya ! jauhkanlah dirimu dari jalan-jalan kesesatan dan janganlah terpesona dengan banyaknya orang yang menempuh jalan kebinasaan! "(Fudhail bin ‘Iyadh) (Al-I’tishom, 112)

Kamis, 18 Oktober 2012

KENAPA ANEH SENDIRI?



Mungkin inilah pertanyaan yang banyak terlintas di benak orang tua: “Kenapa putraku berbeda dengan teman sebayanya, kenapa berbeda dengan orang-orang kampungnya, kenapa dia tidak mau memotong jenggotnya, tidak mau memakai pakaian di bawah mata kaki, tidak mau nonton TV, tidak mau mendengarkan musik. Kenapa putriku berhijab, berpakaian menutupi seluruh tubuhnya, kenapa tidak m

au bergaul dengan sepupu laki-lakinya, tidak mau bersalaman dengan mereka, kenapa malah mengatakan ini haram … itu haram ??”.

Bahkan kenapa mereka tidak mau menghadiri acara-acara keagamaan yang sudah berkembang di masyarakat, yang digencarkan kiyai-kiyai, “Kenapa tidak mau menghadiri peringatan Maulud Nabi, Isro’ Mi’roj, dzikir bersama, kenapa malah berkata, ini bid’ah … itu bid’ah ??”.

“Kenapa mereka tidak mau dia ajak berurusan dengan dengan dukun, entah untuk berobat, mencari barang hilang, kenapa malah berkata, ini syirik … itu syirik ??”.

Sungguh mengherankan …

Ketahuilah -Wahai para orang tua yang menginginkan kebaikan bagi anak-anaknya- keasingan bukanlah tolak ukur suatu kebenaran, karena kebenaran adalah sesuatu yang dikembalikan kepada pokok-pokok syari’at, apa yang Alloh dan Rosululloh benarkan, maka itulah yang benar.

Dulu tanggapan yang sama telah terlontar dari kaum musyrikin:

وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ ¯ أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ ¯ وَانْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى آَلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ ¯ مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ

“Mereka merasa heran ketika datang kepada mereka pemberi peringatan. Orang-orang kafir berkata: “Orang ini adalah penyihir yang pendusta. Apakah dia menginginkan sembahan (yang diibadahi) cuma satu saja ?? Sungguh ini adalah perkara yang mengherankan”. Maka pergilah para pemuka mereka mengatakan: “Berjalanlah kalian dan sabarlah dalam mengibadahi sembahan-sembahan kalian, sesungguhnya inilah yang Alloh kehendaki. Kita tidak pernah mendengar perkataan seperti ini pada agama yang terakhir. Sungguh perkara ini hanyalah sesuatu yang diada-adakan” (QS Shod Ayat 4-7)



Mereka menghukumi benar tidaknya sesuatu, dengan tingkat kecocokan yang ada pada mereka. Kalau seperti mereka berarti benar, kalau berbeda berarti sesat.

Sebagai seorang muslim hendaknya kita senantiasa berusaha untuk jujur dan obyektif dalam bersikap. Apakah kita merasa yakin bahwa komunitas yang ada sekarang berada di atas kebenaran ?? Apakah kita memiliki alasan untuk itu di depan Alloh kelak ??

Alloh bahkan telah menjelaskan bahwa mayoritas bukanlah acuan kebenaran, justru kebanyakan manusia telah hanyut mengikuti hawa nafsunya. Alloh berfirman:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُون

“Apabila engkau kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu, yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka. Mereka hanyalah membuat kebohongan” (QS Al-An’am Ayat 116)

Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh dalam Miftah Daaris Sa’adah (1/ 147) mengatakan: “Jangan sampai engkau tertipu dengan apa-apa yang menipu orang-orang bodoh. Karena mereka mengatakan: “Kalau memang mereka di atas kebenaran tentulah mereka tidak menjadi kelompok manusia yang paling sedikit jumlahnya, sementara orang-orang justru menyelisihi mereka !!”. Ketahuilah merekalah yang betul-betul manusia, adapun yang menyelisihi mereka hanyalah mirip manusia, mereka bukan manusia[8]. Manusia itu hanyalah pengikut kebenaran walaupun sedikit jumlahnya. Ibnu Mas’ud mengatakan: “Janganlah seseorang diantara kalian menjadi bunglon, mengatakan: “Saya bersama orang-orang”. Hendaklah seseorang diantara kalian memutuskan untuk beriman, walau orang-orang mengingkarinya …”.

Bacalah Al-Qur’an dan hayati, bacalah Shohih Al-Bukhory, Shohih Muslim dan biografi para sahabat, maka anda akan bisa mengetahui bagaimana cara mereka berpikir, bersikap dan seperti apa penampilan mereka. Sekarang, lihatlah kondisi orang-orang yang mengikuti arus masyarakat, yang mengikuti kebanyakan orang, bandingkan dengan kondisi para sahabat, apa yang anda lihat ??

Padahal komunitas shohabat adalah komunitas yang diridhoi Alloh, dipuji Rosul-Nya, komunitas yang ada ketika turun wahyu, komunitas yang dibina oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Alloh Jalla wa ‘Ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang terdahulu yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshor, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh meridhoi mereka dan mereka pun ridho kepada Alloh. Dan Dia telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang agung” (QS At-Taubah Ayat 100)

Jelaslah siapa sebenarnya yang pantas diikuti karena Alloh meridhoi orang-orang yang yang mengikuti mereka dengan baik. Terus apakah ada sesuatu yang lebih bernilai, yang memalingkan seseorang untuk menggapai ridho-Nya ??

Kalau dikatakan: “Masa mereka berbeda dengan masa kita sekarang”

Memang berbeda, dulu mereka naik unta sekarang kita naik mobil, dulu mereka mengutus orang untuk menyampaikan pesan sekarang kita tinggal menekan nomor. Tapi syari’at tetap. Islam yang dulu adalah Islam yang sekarang, karena Alloh telah menyempurnakan agama-Nya.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

“Pada hari ini telah Aku sempunakan bagi kalian agama kalian” (Al-Ma’idah Ayat 3)

Kalau sudah sempurna berarti tidak perlu ditambah lagi, tidak adalah istilahnya agama mesti mengikuti perkembangan, tapi perkembangan itulah yang mesti ditimbang dengan syari’at. Bukanlah agama yang mengikuti adat masyarakat, tapi adatlah yang mesti disesuaikan dengan agama.

Dahulu Ma’qil bin Yasar Rodhiyallohu ‘Anhu makan siang, maka makanan yang ada ditangannya jatuh. Kemudian dia mengambilnya dan menyingkirkan yang kotor padanya, kemudian memakannya. Maka penduduk kampung (dari kalangan A’jam -bukan Arab-) saling mengisyaratkan dengan mata mereka. Orang-orang pun menyampaikan perkara tersebut kepadanya: “Apa pendapatmu tentang perkataan orang-orang A’jam itu?, mereka mengatakan: “Lihatkah pada makanan yang ada di tangannya, dan apa yang dilakukan dengan suapannya itu?”. Maka Ma’qil menjawab: “Saya tidak akan meninggalkan apa yang saya dengar dari Rosululloh gara-gara perkataan para A’jam itu. Sesungguhnya dahulu kami diperintahkan, jika terjatuh suapan salah seorang dari kami, maka dia singkirkan yang kotor padanya, kemudian dia memakannya”. (HR Ad-Darimy, dishohihkan Imam Muqbil di Jami’us Shohih)

Adapun kalau perbuatan anak anda menyelisihi para kiyai dan para da’i kebanyakan, maka itu bukanlah patokan kesalahannya. Betapa banyak orang yang mengaku berdakwah atas nama Islam, banyak metode dan beragam pemikiran.

Apakah semuanya benar ? Jawabnya: “Tidak, kebenaran hanya satu tidak berbilang”. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِه

“Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, sehingga kalian bercerai-berai dari jalan-Nya”. (QS Al-An’am Ayat 153)

Mujahid Rahimahulloh berkata: “Jalan-jalan adalah bid’ah-bid’ah dan syubhat-syubhat (kerancuan-kerancuan. Sesuatu yang dikira bisa sebagai dalil padahal tidak)”. (Atsar ini shohih, diriwayatkan Ibnu Jarir).

Keasingan kebenaran di kalangan manusia bukanlah perkara yang mustahil, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam ini mulai dalam keadaan asing, dan akan kembali asing. Maka thuba bagi orang-orang yang asing” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)

Imam An-Nawawi Rahimahulloh dalam penjelasan hadits tersebut mengatakan: “Para ulama berselisih tentang makna firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآَب

“Thuba bagi mereka dan tempat kembali yang baik” (QS Ar-Ro’d Ayat 29)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma bahwa (thuba) maknanya adalah kegembiraan dan penyejuk mata. ‘Ikrimah mengatakan: “Kenikmatan bagi mereka”. Adh-Dhohhak mengatakan: “Kesenangan bagi mereka”. Qotadah mengatakan: “Yang terbaik bagi mereka”, juga diriwayatkan bahwa dia mengatakan: “Mereka mendapatkan kebaikan. Ibrohim mengatakan: “Kebaikan dan kemuliaan bagi mereka”. Ibnu ‘Ajlan mengatakan: “Kebaikan yang terus-menerus”. Disebutkan juga maknanya adalah sebuah pohon yang ada di surga[9]. Seluruh pendapat ini mungkin pada makna hadits ini, wallohu a’lam”.

Keasingan mereka, bukan karena mereka ingin nyentrik, ingin tampil beda, baik di sisi keyakinan ataupun amalan-amalan lahiriyah. Namun keasingan itu muncul dikarenakan mereka ingin mempertahankan agama sebagaimana yang disyari’atkan, sementara orang-orang di sekitar mereka banyak yang lalai dalam menjalankan agama mereka. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

طوبى للغرباء ، قيل : ومن الغرباء يا رسول الله ؟ قال : ناس صالحون قليل في ناس سوء كثير من يعصيهم أكثر ممن يطيعهم

“Thuba bagi orang-orang yang asing. Dikatakan kepada beliau: “Siapakah orang-orang yang asing itu, wahai Rosululloh ?”. Beliau menjawab: “Orang-orang sholih yang sedikit di kalangan orang-orang jelek yang banyak. Orang-orang yang menentang mereka lebih banyak dari yang taat (mengikuti dakwah) mereka” (HR Ibnu ‘Asakir (12/ 8/ 1) dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-Ash Rodhiyallohu ‘Anhu, sebagaimana disebutkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh dalam Ash-Shohihah 1619 dan sanadnya jayyid)

Maka bersyukurlah bahwa putra Bapak dan putri Ibu, terasing karena mempertahankan agamanya, tidak hanyut dan tenggelam bersama kelalaian manusia terhadap agama mereka.
sumber isnad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar